Saat kita terlahir akankah kita langsung berdrama, latihan gerak, mimik, menghafalkan skenario, enggan memberontak pada peran yang memuakkan atau sekedar menerima apa adanya. Lalu untuk apa kita “ manggung “ di dunia ? Apakah hanya untuk dianggap baik meski kita berperan dengan karakter yang paling jahat, paling tirani, atau pun paling brengsek ?Apakah kita juga bisa dianggap sebagai tokoh roman tebal dengan beribu – ribu halaman padahal watak, perilaku dan semua “ takdir “ ditentukan oleh pencipta roman tersebut. Dia ingin kita jadi psikopat, ya kita jadi psikopat yang paling menyeramkan. Dia ingin kita jadi setan, ya kita jadi setan yang paling iblis. Sebuah sandiwara yang mengekang nafas, karakter kehidupan yang mati, naskah yang menyalib segala gerak.
Dunia ini bukan panggung sandiwara. Tapi tempat memegang peranan yang sebenarnya. Setelah kita pantas dan sanggup dijadikan makhluk bernama manusia, oleh Tuhan kita dianugerahi kemerdekaan. Kita adalah sutradara bagi diri kita sendiri. Tapi bukan berarti Tuhan tidur dan diam.Tuhan adalah Ar Rabb yang menguasai semesta alam. Namun Dia bukan tiran yang memasung kita. Kita adalah roman yang bergerak bebas, bergerak lurus atau berkilas balik.
Kita pun bukan pengembara tanpa tujuan atau pertapa yang bermeditasi hampa hanya karena takut melakonkan apa yang seharusnya mampu ia lakukan. Kita bisa juga memegang tidak hanya satu peran. Peran yang nyata atau pura – pura, terserah. Sebab di dunia ini belum saatnya kita memfinalkan tujuan atau menyelesaikan sebuah sandiwara, lantas menunggu upah, atau malah dilempari penonton akibat bermain jelek dan diteriaki dengan kata – kata :
“ Turun …… Turun …… Goblok …… ! “