Suatu hari ketika aku berangkat kerja (tempat kerja baru setelah kepindahanku), mataku menangkap sesosok tubuh berjalan di sekitar jalan pemuda. Seorang perempuan renta mendorong klethek (bahasa jawa, semacam grobak tapi lebih kecil, karena aku bingung menemukan kosakata yang tepat dalam bahasa indonesianya).
Ekor mataku melirik sejenak ke arah barang yang ada dalam kletheknya. Aku tertegun. Di dalamnya ada sekitar sepuluh buah kelapa utuh.
Esok dan seterusnya pun aku selalu melihatnya berjalan dari jalan pemuda sampai jalan gajah mada yang sebenarnya jauh jaraknya, apalagi ditempuh dengan jalan kaki untuk ukuran seorang yang sudah renta.
Aku menitikkan airmata. Betapa tidak. Perempuan renta yang sudah bungkuk jalannya itu masih harus bekerja mencari nafkah.
Di mana keluarganya? Aku sempat berpikir betapa tega sang anak membiarkan ibunya yang sudah jompo bekerja. Padahal dia pun harus melalui jalan raya yang sangat tidak ramah penghuninya, karena pemakai jalan yang tidak toleran, saling kebut, saling salib, dan saling mengklakson keras (yang bikin kaget pemakai jalan lain). Atau dia hanya hidup sendiri, (suami dan anak-anaknya sudah meninggal, ataukah mungkin tidak punya anak?) Toh pasti dia masih punya saudara lain kan? Lantas kemana mereka? Tertutupkah mata, telinga, rasa dan hati mereka?
Dan tadi pagi aku kembali melihatnya setelah hampir satu bulan aku kehilangan sosoknya. Aku kembali menitikkan airmata. Aku tak tahu harus mengucap apa padaNya. Kadang aku mengucap subhanallah karena ketegaran perempuan renta itu menjalani kerasnya hidup. Pun kadang aku mengucap alhamdulillah karena aku masih punya pekerjaan sehingga aku bisa menafkahi keluarga dan ibuku pun tidak perlu bekerja sepertinya. Tapi sering pula aku mengucap astaghfirullah karena ketidakmampuanku untuk melindungiya dari kerasnya hidup.
Aku pun mengutuk diri sendiri karena aku masih saja mementingkan diri sendiri setiap kali melihatnya, tanpa mempedulikannya (meski hanya sekedar menyapa) dengan tameng “mau berangkat kerja, takut terlambat” . Aku hanya berdoa agar suatu saat aku bisa menjadi “tanganMu” untuk “mengulurkan” karuniaMu padanya. Dan aku berdoa agar dia menjadi makhluk terkasihMu kelak di surga (bersama denganku, Aamiin).
Pekalongan, 20 November 2008
Fah’s