Thursday, September 10, 2009

Di Malam Tarawih Ke Dua Puluh Satu

Aku melihatnya menangis. Ini malam ke-dua puluh satu Ramadhan. Namun ini bukan kali pertama aku melihatnya menangis. Aku tahu betul kalau ia memang sangat mudah menitikkan airmata. Bukan karena ia cengeng, tapi karena ia memang amat mudah tersentuh hatinya. Bahkan untuk hal-hal yang menurut sebagian orang adalah sepele, melihat penjual es keliling dengan gerobaknya yang masih penuh misalnya, itu bisa membuat airmatanya meleleh.


Bahkan aku pernah pula melihatnya menangis terisak-isak saat menonton film yang berkisah tentang penyaliban Yesus. Agak kontras memang mengingat ia seorang muslim yang aku sebut taat. Tapi aku segera tahu bahwa yang membuatnya menangis karena perlakuan yang tidak manusiawi yang diterima Yesus sebagai manusia, bukan karena keyakinannya terhadap Yesus.

Dan ini untuk kesekian kalinya aku melihatnya menangis. Yang berbeda adalah tempat dan waktunya. Ini untuk pertama kalinya aku melihatnya menangis di tempat umum, di mushola, saat kami tengah shalat tarawih berjamaah. Ketika kami berangkat menuju mushola ia tampak biasa saja. Tak ada gurat sedih sedikitpun di wajahnya. Bahkan ketika sholat Isya' berakhir pun ia terlihat baik-baik saja.

Tiba-tiba terdengar pelan isakannya. Aku baru sadar ketika rakaat kedua shalat tarawih kami selesai. Dari sudut mataku terlihat ia mengusap airmatanya. Aku menoleh. Ketika kutanya ia hanya diam saja. Sampai pada rakaat-rakaat berikut pun ia masih menangis. Kami berdiri di shaf pertama dan kebetulan ia berada paling ujung shaf sehingga isakannya tak mengundang perhatian orang.

Aku hanya bisa menduga tanpa tahu apa yang sebenarnya membuatnya menangis. Beberapa tahun terakhir ini ia merasakan sakit di salah satu organ tubuhnya, hampir tiap hari, begitu ia bercerita. Dan setahuku memang tiap hari pula ia minum obat. Hidupnya seperti bergantung pada obat. Aku berkali-kali menyarankan agar memeriksakan penyakitnya ke dokter. Meski bukan hal yang sangat kuharapkan, akan tetapi itu untuk mencegah sesuatu yang lebih parah lagi terjadi. Aku bisa membayangkan ketika ia tengah puasa dalam kondisi menahan rasa sakit yang ia sebut minta ampun. Tapi tetap saja ia puasa. Ia merasa bahwa ada banyak orang lain yang mengalami sakit yang lebih parah darinya namun tetap puasa.

Begitulah, ia tahu betul apa yang ia mau dan ia mampu lakukan. Tak mudah goyah pendiriannya dan kadang cenderung keras kepala juga. Ya, mungkin karena rasa sakit itu yang membuat ia menangis malam ini. Ia bahkan hampir tidak pernah mengeluh terhadap apapun di rumah. Ia tak mau ibunya yang menjadi satu²nya orang tuanya yang masih hidup menjadi cemas. Itu sebabnya ia berusaha ceria di rumahnya, tidak mengeluh dan selalu menerima. Itu pula yang membuat ibunya sangat sayang padanya, memperlakukannya bak gadis kecil yang polos. Tapi tak terlihat olehku ia menjadi manja. Ia bahkan sangat mandiri. Pasti karena didikan ibunya pula ( ayahnya sudah meninggal sejak ia kecil ).

Tapi beberapa minggu yang lalu ia sempat cerita padaku tentang satu hal. Bukan tentang penyakitnya. Berulang-ulang ia mengucapkan kalimat yang sama. Wajahnya tanpa ekspresi sedikitpun. Sepertinya ia menyesali sesuatu. Sesuatu yang ia lakukan dengan niat baik namun ternyata justru berbalik mengkhianatinya. Saat itu pun ia hampir menitikkan airmata. Namun tampaknya ia mampu membendungnya. Dan malam ini ia benar² tak mampu menahan air matanya. Di malam tarawih ke-dua puluh satu, ia menangis. Adakah ia menahan rasa sakitnya? Mungkinkah ia tengah menyesali sesuatu? Ataukah ia menangis untuk hal lain yang belum sempat kuketahui?